Mencintai, ketika kita mencintai seseorang maka energi positif itu sangat besar. Kita selalu berpikiran positif, kita selalu dapat memaklumi, kita jadi pantang menyerah (utamanya bagi yang sedang mencintai orang dan orang yang dicintai tidak atau belum membalas cinta yang diberikan). Dengan mencintai, kita jadi mudah memberi, bahkan orang yang paling pelit sekalipun, akan memberi sebanyak yang dia bisa untuk orang yang dicintainya. Orang yang paling tidak romantis sedunia pun, ketika ia jatuh cinta, ia juga akan berubah menjadi orang yang romantis, katakanlah salah satu ukuran keromantisan adalah menulis puisi. Semua orang yang pernah jatuh cinta pasti pernah menulis puisi kukira (aku pernah ga ya…? he he he).
Nah, energi positif yang berlebih inilah yang membuatnya tetap bertahan untuk mencintai. Harapan untuk mendapatkan orang yang dicintai dan agar orang yang dicintainya juga mencintainya inilah yang membuatnya mengalami perubahan yang luar biasa drastis itu. Meskipun mendapatkan balasan yang negatif dari orang yang dicintainya. Meskipun tidak diacuhkan. Meskipun disakiti, baik dengan kata-kata maupun perbuatan. Tapi, para pecinta itu tetap berjuang dan berpikir positif. Tidak peduli apa pun, semuanya tetap diterjang. Intinya adalah aku cinta kamu, dan aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkan kamu.
Ngomong-ngomong soal ini aku jadi inget buku Gege Mengejar Cinta, tulisannya Adithya Mulya. Inget sama yang Gege bilang ke temennya. Ini tentang perbedaan antara cewek dengan cowok.
Cewek mencintai orang yang menyayanginya, tapi kalo cowok, mereka memilih kepada siapa cinta mereka akan diberikan. Dasar cinta wanita itu adalah perasaan ingin disayangi, dan dasarnya pria adalah ingin memiliki. (Gege).
(Tapi kupikir ya ga semua juga begitu ya, selalu ada kekecualian untuk semua hal.)
Tetapi, meskipun energi positif yang dikeluarkan untuk mencintai seseorang itu bisa juga berakibat buruk pada para pecintanya. Apalagi jika orang yang dicintai sulit untuk didapatkan. Mereka akan sampai pada taraf terobsesi, sangat menginginkan untuk memilikinya. Nah, itu berbahaya. Inilah yang jadi inti dari kalimat yang diucapkan oleh Ventha, teman Gege ketika dia sedang ngobrol dengan Gege.
Tenang dong. Kalo elo terlalu menginginkan sesuatu, justru resiko gagal lebih tinggi karena kita terlalu maksain berhasil. No body’s perfect, Ge. Nothings perfect. What’s perfect is kalo semua mengalir apa adanya. (Ventha)
Kalimat yang sangat bijaksana. Ketika kita mencintai seseorang, kita anggap dia adalah orang yang sangat sempurna di mata kita. Dan kita menjadi sangat terobsesi dengannya. Ketika dia tidak membalas, maka yang muncul adalah penyangkalan-penyangkalan. (halah, jadi analisis…). Nah, tentang penyangkalan ini, mengingatkan aku pada teori Freud, tepatnya pada paragraf-paragraf yang kubaca saat aku mengedit buku yang berjudul Change or Die (Buku ini akan segera diterbitkan oleh Penerbit Salamadani).
“Ketika kita menemukan diri kita sedang berada dalam situasi yang tidak toleran dan merasa dipenuhi oleh tekanan, kecemasan, dan ketidakberdayaan, atau ketika kenyataan hidup yang tidak menyenangkan mengancam akan merusak harga diri kita, secara tidak sadar pikiran kita mengaktifkan sejumlah strategi psikologis otomatis yang kuat dan sudah ada dalam diri untuk membantu kita menangani semua itu. Kita melindungi diri kita dari fakta-fakta yang memalukan dan mengancam. Kita membuang berita-berita buruk dari jiwa kesadaran kita.”
Lalu, Alan Deutshman melanjutkan…
“Freud menyebut mekanisme mengkopi ini sebagai “ego defenses” (pertahanan-pertahanan ego), dan walaupun begitu banyak ide-idenya yang didiskreditkan selama satu abad terakhir, tetapi idenya yang satu ini telah menahan semua kritik, dan dapat diterima sebagai sebuah fakta yang rumit.”
Lalu, lanjutnya lagi:
“Kita semua tahu tentang pertahanan diri nomor tujuh: “idealisasi” yang terjadi ketika Anda sangat jatuh cinta kepada orang yang salah, jatuh cinta yang membuat Anda buta terhadap kesalahan-kesalahan dan perilaku buruknya, meskipun semua itu begitu jelas terlihat bagi teman-teman dan keluarga Anda. Dan siapakah di antara kita yang belum pernah bersalah, sekarang atau nanti, terhadap pertahanan diri nomor tiga belas: “proyeksi”―menyalahkan orang lain atas kesalahan kita sendiri? Dan apakah waktu berlalu sebelum setiap orang dari kita terkait dengan pertahanan diri nomor empat belas: “rasionalisasi”, atau hadir dengan alasan-alasan kreatif untuk menutupi motif kebiasaan kita yang sesungguhnya? (Para psikolog sering bergurau bahwa manusia bukanlah “mahluk yang rasional”, tetapi kita sedang “merasionalisasikan manusia”).”
Akhirnya, dia menyimpulkan seperti ini:
“Walaupun kita semua telah mendengar tentang “penyangkalan”, dan banyak di antara kita yang senang mengulang-ulangi istilah tersebut dalam percakapan informal, tetapi ada satu hal yang tidak dimengerti oleh sebagian besar dari kita, yakni penyangkalan dan psikologis pertahanan diri lainnya bukanlah pilihan-pilihan yang dituju dan diinginkan.
Kita tidak sadar bahwa sebenarnya kita sedang membentuk mekanisme mental untuk membebaskan diri dari rasa cemas yang berlebihan. Ego defenses adalah cara yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita dalam mengurangi beban yang melemahkan pikiran sadar kita. Otak kita secara otomatis mengeluarkan pengetahuan-pengetahuan yang tidak berguna dari pikiran-pikiran sadar kita, dan kita bahkan tidak menyadari hal ini.
Masih ingat dengan adegan terkenal di film A Few Good Men pada saat Tom Cruise bertanya kepada Jack Nicholson untuk mengatakan hal yang sebenarnya, Nicholson menjawab, “Anda tidak tahan terhadap kebenaran?” Itulah apa yang dikatakan oleh alam bawah sadar kita. Ketika pikiran sadar kita tidak tahan terhadap kebenaran, alam bawah sadar kita akan memberikan kebenaran tersebut. Alam bawah sadar datang untuk menyelamatkan perasaan.”
See … kupikir ini cukup nyambung dengan hal itu. Awalnya aku melihatnya dari teman-temanku yang mengalami kasus itu. Tetapi aku akhirnya berpikir, ketika teman-temanku berada dalam posisi yang dicintai, sedangkan aku berada dalam posisi mencintai. Jadi, aku tahu betul betapa penyangkalan yang dibuat oleh mereka para pecinta. Dan mengapa mereka menjadi begitu kukuh ketika berusaha untuk mendapatkan cinta dari yang mereka cintai, karena aku juga begitu dulu. Aku jadi bisa melihat betapa risihnya mereka ketika mendapat “perhatian” atau mungkin lebih tepatnya “gangguan” dari para pecinta itu. Mereka juga merasa risih mendapatkan “pemberian” atau apa ya istilah lainnya kepada mereka. Karena akan ada rasa utang budi itu. Sementara para pecinta itu memberikannya dengan “sukarela”, tapi mereka yang dicintai itu menerimanya dengan beban. Mereka tidak mampu menolak, karena para pecinta itu sudah terlalu “baik” pada mereka.
Jadi harus gimana?
Ya, soal pilihan itu, itu kembali lagi pada masing-masing diri kita. Apakah para pecinta itu cukup sadar diri dan cukup cepat untuk menyadari hal itu, dan berhenti. Lalu berusaha sekuat tenaga untuk mengubahnya. Atau terus berusaha sampai berhasil. Dan pilihan bagi mereka yang dicintai untuk berbicara langsung dengan tegas (walau terasa kejam) kepada para pecinta itu.
Mungkin ketegasan dan kata-kata itu akan menyakitkan, tapi kurasa pernyataan itu akan lebih baik daripada diamnya dan memberikan sikap yang menyakitkan hati. Jadi, sebenarnya harus ada iktikad baik dari kedua belah pihak, keduanya harus berterus terang. Para pecinta harus bilang, kalo “aku cinta kamu, dan aku mau begini dan begitu.” Sedangkan mereka yang dicintai juga harus bilang. “Maaf, aku tidak cinta kamu, dan tidak akan bisa. Jangan bilang belum, karena aku benar-benar tidak bisa. Jangan buat aku berdosa karena melakukan hal-hal yang seharusnya tidak aku lakukan. Dan jangan pula buat aku berdosa karena akan mengajak orang lain berbohong untuk menghindari kamu.”
Keterusterangan dan komunikasi secara verbal. Itulah yang perlu. Jika tidak, percayalah. Kita akan selalu menumpuk banyak kesalahan dengan itu. Semua akibat penyangkalan-penyangkalan dan ketidaktegaan itu.
fiuhh Analisis yang cukup panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar