PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pajak adalah pungutan yang bersifat dipaksakan oleh negara kepada warga negaranya untuk memenuhi berbagai macam tuntutan dan perkembangan dalam pembangunan. Peran pajak sangat besar dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara, termasuk di negara Indonesia yang termasuk negara sedang berkembang, yang menggunakan pajak sebagai salah satu pendapatan utama untuk membiayai segala macam kebutuhan. Apalagi, dari total penerimaan anggaran di tahun ini, pajak ditargetkan menyumbang 70,9 persen, atau Rp 500 triliun lebih. Tidak terbayang, bila pajak yang memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi, ternyata dimanipulasi unuk kepentingan beberapa pihak dan merugikan negara hingga trilyunan rupiah. Perlahan tetapi pasti pengurangan pajak yang dilakukan secara sengaja dan bersifat illegal tersebut akan banyak mempengaruhi perkembangan ekonomi dan pertumbuhan pembangunan di Indonesia. Tingkat perkembangan ekonomi akan berjalan di tempat bahkan mengalami kemunduran. Banyak pembangunan yang tidak berjalan karena prediksi pendapatan dari pajak yang awalnya ditujukan untuk membiayai pembangunan ternyata tidak sepadan karena penggelapan uang pajak.
Kepatuhan dalam mematuhi peraturan negara, khususnya untuk membayar pajak seharusnya sudah menjadi budaya. Pajak bukan sekedar kewajiban semata, karena dari pajaklah semua pembangunan yang ada di negara Indonesia ini dapat berlangsung. Kita seharusnya tidak selalu menuntut hak akan fasilitas yang wajib disediakan oleh negara, tetapi hanya untuk sekedar memberikan kontribusi pajak negara saja, kita memikirkan berbagai macam cara untuk memanipulasinya. Saat inilah waktu yang tepat bagi kita bersama untuk memberikan kontribusi bagi negara ini, hanya dengan kepatuhan akan menjalankan peraturan negara, kita dapat membangun negara ini menjadi lebih baik lagi.
I.2 Rumusan Masalah
Makalah ini disusun untuk membahas beberapa persoalan mendasar yang terkait dengan peran pajak dalam perekonomian Indonesia, yaitu :
1. apakah yang dimaksud dengan penerimaan pemerintah, dan hal apa saja yang terkait dengan penerimaan pemerintah?
2. apakah yang dimaksud dengan pajak, dan hal apa saja yang terkait dengan pajak?
3. efek apakah yang ditimbulkan pajak terhadap perekonomian?
4. sebutkan dan jelaskan salah satu bentuk permasalahan yang terkait dengan perpajakan?
5. solusi apakah yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pajak tersebut?
I.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. makalah ini dapat menjelaskan tentang penerimaan pemerintah dan hal-hal yang terkait dengan penerimaan pemerintah
2. makalah ini dapat menjelaskan tentang pajak dan hal-hal yang terkait dengan perpajakan
3. makalah ini dapat menjelaskan efek yang ditimbulkan oleh pajak terhadap perekonomian
4. makalah ini dapat menyebutkan dan menjelaskan salah satu bentuk permasalahan yang terkait dengan perpajakan
5. makalah ini dapat memberikan solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan pajak tersebut
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Penerimaan Pemerintah
II.1.1 Sumber-Sumber Penerimaan Negara
Penerimaan pemerintah kita artikan sebagai penerimaan pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya yaitu meliputi penerimaan pajak, penerimaan yang diperoleh dari hasil penjualan barang dan jasa yang dimiliki dan dihasilkan oleh pemerintah, pinjaman pemerintah, mencetak uang, dan sebagainya. Cara-cara yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendapatkan uang pada intinya dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Pajak
2. Retribusi
3. Keuntungan dari Perusahaan-perusahaan Negara
4. Denda-denda
5. Sumbangan masyarakat
6. Pencetakan Uang Kertas
7. Hasil dari Undian Negara
8. Pinjaman
9. Hadiah
II.1.2 Distribusi Beban Pemerintah
Hal penting dari inventarisasi sumber-sumber keuangan pemerintah di atas adalah pemecahan masalah mengenai prinsip-prinsip yang harus ditempuh untuk mendistribusikan beban pemerintah kepada anggota-anggota masyarakat. Pajak di samping sebagai sumber penerimaan negara yang utama (fungsi budget) juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai alat untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan swasta dalam perekonomian (fungsi pengatur). Sebagai alat anggaran (budgetary) pajak digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah, terutama kegiatan-kegiatan rutin. Pajak dalam fungsinya sebagai pengatur (regulatory), dimaksudkan terutama untuk mengatur perekonomian guna menuju pada pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, mengadakan redistribusi pendapatan serta stabilisasi ekonomi.
II.2 Pajak
Pajak merupakan sumber anggaran pendapatan negara yang paling pokok. Perpajakan menyangkut dua masalah pokok, yaitu bagaimanakah sistem administrasi membiayai pengadaan dan penyediaan barang dan jasa kolektif yang sukar dapat disediakan melalui mekanisme pasar serta bagaimanakah membiayai program-program yang dapat menghindarkan akibat sampingan dalam mekanisme pasar.
Ada beberapa alasan mengapa kebutuhan akan perpajakan itu timbul. Alasan pertama adalah bahwa sistem administrasi perlu menyediakan barang dan jasa kolektif. Alasan kedua, sistem administrasi perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kegagalan-kegagalan tertentu dari mekanisme pasar sehingga langkah-langkah yang diambil itu mencerminkan mekanisme perencanaan. Alasan ketiga, berkaitan dengan pemerataan dalam pembagian pendapatan. Alasan keempat, adanya ketidaksempurnaan pasar. Ada sumber lain dari pengeluaran yang dilaksanakan oleh sistem administrasi yaitu yang berkaitan dengan campur tangan sistem administrasi yang timbul dari kegagalan mekanisme perencanaan pasar.
Memberikan pengertian pajak akan berkaitan dengan masalah yang dapat menjelaskan fungsi dari pajak dengan keyakinan bahwa pengartian tersebut mencakup segi-segi pokok yang terkandung di dalamnya. Sistem administrasi melakukan penarikan pajak bukan semata-mata untuk memperoleh dana akan tetapi juga dapat mengawasi pengeluaran dari sistem kegiatan sosial sehingga permintaan konsumsi dan investasi dari sistem administrasi ditambah dengan permintaan konsumsi dan investasi dari sistem kegiatan sosial akan sama dengan pendapatan pada tingkat kesempatan kerja tertentu.
II.2.1 Tujuan Perpajakan
Sistem politik pada umumnya berfungsi dalam membuat keputusan dan menafsirkan nilai-nilai yang ada dalam dan dibutuhkan oleh sistem kegiatan sosial untuk dapat mengatur pembagian pendapatan yang lebih merata.
Perpajakan diperlukan untuk membiayai berbagai pengeluaran negara. Tujuan dari perpajakan adalah untuk menekan konsumsi dan investasi dari sistem kegiatan sosial sehingga sistem administrasi dapat menyediakan barang dan jasa publik, sosial atau kolektif dan dapat memberikan subsidi kepada golongan miskin tanpa menimbulkan inflasi dan kesukaran dalam neraca pembayaran.
Fungsi pokok dari perpajakan adalah untuk menekan berbagai permintaan akan kapasitas produktif dari sistem kegiatan sosial. Dengan demikian, perpajakan mempunyai tujuan lain, di samping sebagai sumber pendapatan negara. Perpajakan yang eifisien dilaksanakan dengan suatu cara yang dapat membantu pembagian pendapatan yang lebih merata, dapat membantu untuk memberikan dorongan tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kebijaksanaan pengeluaran anggaran yang dilaksanakan oleh sistem administrasi.
II.2.2 Prinsip-Prinsip Dalam Perpajakan
II.2.2.1 Prinsip Pengenaan Pajak
Soal prinsip pengenaan pajak yang baik telah dikemukakan oleh A. Smith dengan cannon of taxation dan para ahli keuangan lainya. Suatu sistem pajak yang baik haruslah memenuhi kriteria, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Distribusi dari beban pajak harus adil, setiap orang harus membayar sesuai dengan “bagiannya yang wajar”.
2. Pajak-pajak harus sedikit mungkin mencampuri keputusan-keputusan ekonomi.
3. Pajak-pajak haruslah memperbaiki ketidakefisienan yang terjadi di sektor swasta, apabila instrumen pajak dapat melakukannya.
4. Struktur pajak haruslah mampu digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi.
5. Sistem pajak harus dimengerti oleh wajib pajak.
6. Administrasi pajak dan biaya pelaksanaannya haruslah sesedikit mungkin.
7. Kepastian.
8. Dapat dilaksanakan.
9. Dapat diterima,
Suatu sistem pajak yang baik adalah suatu sistem pajak yang adil. Konsep keadilan ini sifatnya relatif, sehingga harus dijelaskan lebih lanjut. Dalam bidang perpajakan konsep keadilan menjadi dua klasifikasi, yaitu keadilan datar (horizontal equity) dan keadilan tegak (vertical equity). Yang dimaksud dengan keadilan datar adalah pengenaan pajak dimana setiap orang yang kedaannya sama haruslah menderita beban pajak yang sama besarnya. Sedangkan keadilan tegak adalah situasi dimana orang yang keadaannya berbeda adalah haruslah menderita beban pajak yang berbeda pula.
II.2.2.2 Prinsip Pemanfaatan Dalam Perpajakan
Menurut prinsip ini,setiap orang haruslah membayar pajak sebesar manfaat yang dia terima dari aktivitas pmerintah. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa prinsip manfaat sesuai dengan insidens Keseimbangan Anggaran, kedua-duanya berdasarkan pertukaran model suka rela (voluntary exchange model). Dalam hal ini pengenaan pajak dapat didasarkan pada kriteria efisiensi, yaitu dimana tingkat produksi ditentukan pada biaya marginal sama dengan harga.
II.2.2.3 Prinsip Kemampuan Membayar
Menurut prinsip ini, setiap orang haruslah membayar bagiannya (pajak) sesuai dengan kemampuannya untuk membayar. Prinsip ini tidak mempunyai dasar ilmiah karena didasarkan pada sesuatu yang sangat abstrak. Untuk dijadikan suatu prinsip perpajakan yang operasional maka prinsip ini juga harus menggunakan suatu ukuran operasional untuk mengukur kemampuan seseorang untuk membayar pajak. Tiga ukuran yang biasanya dipakai untuk mengukur kemakmuran seseorang (atau kemampuan seseorang membayar pajak) adalah:
1. Pendapatan
2. Pengeluaran konsumsi
3. Kekayaan
II.2.3 Konsep Equal Sacrifice
Sehubungan dengan prinsip kemampuan untuk membayar pajak berdasarkan atas kesamaan, maka apa yang kita maksud dengan sama di sini adalah pembayarannya dalam arti beban riil (real burden) yang diderita seorang wajib pajak.
Prinsip atas dasar pengorbanan (sacrifice principle) ini dapat kita golongkan menjadi 3 macam yaitu:
1. Kesamaan pengorbanan secara absolut (equal absolute sacrifice)
2. Kesamaan pengorbanan secara proporsional (equal proportional sacrifice)
3. Kesamaan pengorbanan secara marginal (equal marginal sacrifice)
Sebagai suatu ikhtisar, yang dimaksud dengan:
Kesamaan pengorbanan absolut (equal absolute sacrifice) ialah bahwa pajak hendaknya dibebankan kepada wajib pajak sedemikian rupa sehingga beban riil atau kepuasan/guna yang hilang dari masing-masing pembayar pajak itu adalah sama besarnya.
Untuk kesamaan pengorbanan yang proporsional (equal proportional sacrifice) berarti pajak hendaknya didistribusikan kepada wajib pajak sedemikian rupa sehingga jumlah kepuasan/ guna yang hilang yang diderita masing-masing wajib pajak itu sebanding dengan seluruh kepuasan/guna total yang dimiliki oleh masing-masing wajib pajak tersebut dari jumlah pendapatan yang dimilikinya.
Prinsip kesamaan pengorbanan batas (equal marginal sacrifice) menghendaki agar pajak itu didistribusikan sedemikian rupa di antara wajib pajak sehingga masing-masing akan memiliki sejumlah pendapatan setelah dikenai pajak, yang dapat memberikan guna batas (marginal utility) yang sama.
II.2.4 Efek Perpajakan Dalam Perekonomian
Pajak merupakan suatu pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk berbagai tujuan, misalnya untuk membiayai penyediaan barang dan jasa publik, untuk mengatur perekonomian, dapat juga mengatur konsumsi masyarakat. Karena sifatnya yang dipaksakan tersebut maka pajak akan mempengaruhi perilaku ekonomi masyarakat atau seseorang.
II.2.4.1 Pengaruh Pajak Terhadap Produksi
Pengaruh pajak terhadap produksi dapat dibagi dalam pengaruhnya terhadap produksi sebagai keseluruhan dan komposisi produksi. Pengaruhnya terhadap produksi sebagai keseluruhan berlangsung melalui pengaruh-pengaruhnya terhadap kerja, tabungan dan investasi. Kemudian lebih jauh lagi kita melihat pengaruh-pengaruh terhadap kerja, tabungan, dan investasi itu melalui kemampuan dan keinginan, yaitu kemampuan dan keinginan untuk bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
II.2.4.2Pengaruh Pajak Terhadap Produksi Sebagai Keseluruhan
Pengaruh pajak terhadap produksi sebagai keseluruhan berlangsung melalui pengaruh-pengaruhnya terhadap kerja, tabungan, dan investasi. Apabila investasi dapat diarahkan dengan baik, maka akan dapat membuat pekerjaan lebih produktif. Investasi ini dapat berupa investasi materiil maupun investasi sumber daya manusia. Investasi materiil memberikan kepada para pekerja alat-alat materiil untuk dapat bekerja lebih produktif dan lebih efisien. Investasi ini dapat berbentuk bangunan-bangunan, mesin-mesin, alat-alat angkutan, tenaga listrik dan sebagainya, sedangkan investasi dalam bidang sumber daya manusia akan dapat membuat para pekerja lebih efisien sebagai salah satu faktor produksi. Investasi dalam bentuk ini dapat dalam bentuk tingkat kesehatan yang lebih baik, skill, pengetahuan khusus dan sebagainya.
Investasi sumber daya manusia maupun investasi materiil hanya mungkin terjadi bila ada tabungan dalam masyarakat. Pada kenyataannya, besarnya tabungan dan investasi tidak secara otomatis akan sama. Kadang-kadang terjadi bahwa tabungan lebih tinggi dari investasi, maka akibatnya ialah akan terjadi pengangguran, perusahaan-perusahaan menjadi lesu, harga-harga akan menurun sehingga akan terjadi deflasi. Sebaliknya dapat pula terjadi kenaikan harga dan investasi, dan perusahaan-perusahaan mendapatkan untung.
II.2.4.3 Pengaruh Pajak Terhadap Komposisi Produksi
Pajak dapat mengakibatkan adanya penyimpangan dalam penggunaan faktor produksi, yaitu penggunaan yang seharusnya dapat menghasilkan produksi yang maksimum menuju kearah penggunaan yang menghasilkan produksi yang lebih sedikit, oleh karenanya pajak yang dikenakan jangan sampai mengakibatkan adanya penyimpangan penggunaan faktor-faktor produksi atau jika memang tidak dapat dihindarkan. Pajak yang dikenakan dalam perekonomian jangan sampai menimbulkan terlalu banyak penyimpangan-penyimpangan.
Pajak yang dapat menyebabkan penyimpangan dalam penggunaan faktor-faktor produksi terutama ialah pajak yang dikenakan terhadap keuntungan-keuntungan yang tidak diharapkan, peningkatan nilai tanah, dan pajak yang dikenakan pada monopolist yang ternyata tidak mengakibatkan diubahnya jumlah dan harga barang-barang yang dihasilkan oleh seorang monopolist tersebut.
Tentang seberapa jauh pengaruh pemungutan pajak terhadap beralihnya penggunaan faktor-faktor produksi terhadap kegiatan-kegiatan yang dikenai pungutan pajak ke kegiatan yang lain, dan juga megenai seberapa banyak jumlah produksi barang-barang yang dihasilkan pada kegiatan-kegiatan yang dijadikan obyek pajak itu akan berkurang kan tergantung pada tinggi rendahnya elestistas permintaan dan penawaran terhadap barang-barang yang dihasilkan tersebut.
II.2.4.4 Pengaruh Pajak Terhadap Distribusi Pendapatan
Pada umumnya, tujuan pembangunan suatu negara adalah berupa peningkatan pendapatan nasional per kapita, penciptaan lapangan pekerjaan, distribusi pendapatan yang lebih merata dan keseimbangan neraca pembayaran internasional. Keempat tujuan umum pembangunan ini tidak selalu sejalan dan selaras dalam pencapaiannya, melainkan seringkali untuk mencapai tujuan yang satu terpaksa harus mengurangi keberhasilan dari tujuan yang lain. Untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seringkali terjadi adanya distribusi pendapatan yang kurang/tidak merata. Alasan yang diberikan oleh teori ini adalah bahwa dengan distribusi pendapatan yang tidak merata maka ada golongan yang kaya dan ada golongan yang miskin dalam suatu perekonomian.
Dari teori ekonomi makro, dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan semakin rendah hasrat untuk mengadakan konsumsi pendapatan. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa kelompok kaya inilah yang sanggup membentuk tabungan dan kemudian mengadakan investasi apabila diadakan distribusi pendapatan yang lebih merata, maka ini akan berarti menurunkan tingkat tabungan masyarakat yang berarti pola mengurangi dana yang tersedia untuk investasi. Dengan kata lain kelopmok miskin tidak mempunyai kemampuan untuk mengadakn tabungan dan investasi.
II.2.5 Pajak Perseorangan (Personal Taxes)
Yang dimaksud pajak perseorangan disini adalah pajak yang dikenakan pada seseorang tanpa mengingat jumlah pendapatannya, tabungan atau pengeluarannya. Pajak ini dapat dikenakan dalam jumlah yang sama pada semua orang atau dapat dikenakan pada segolongan orang tertentu berdasarkan kriteria tertentu, misalnya status perkawinan, jumlah umur dan sebagainya. Jadi pajak perseorangan dikenakan pada suatu kelompok tertentu tanpa mengingat aktivitasnya. Golongan yang dikenakan pajak tidak dapat menghindarkan diri dari pembayaran pajak perseorangan dengan mengubah pola aktivitasnya. Dalam hal ini, pajak perseorangan dikatakan merupakan pajak yang netral. Suatu pajak yang netral merupakan jenis pajak yang paling baik karena tidak mengganggu preferensi seseorang. Walaupun demikian, pajak ini berpengaruh terhadap pendapatan (yang menjadi berkurang setelah pembayaran pajak), tabungan, atau kedua-duanya.
II.2.5.1 Pengaruh Pajak Perseorangan Terhadap Konsumsi Suatu Barang
Kita misalkan pajak perseorangan merupakan pajak yang harus di bayar oleh setiap orang dalam jumlah yang sama, kemudian kita analisis mengenai pengaruh pajak perseorangan tersebut terhadap pola pengeluaran seseorang. Kita misalkan lebih lanjut bahwa seseorang dapat membelanjakan seluruh pendapatannya untuk membeli dua jenis barang, yaitu barang publik (Z) dan barang swasta (S). Apabila seseorang (H) menggunakan seluruh pendapatannya untuk membeli barang (Z) maka ia akan memperolehnya sebanyak beberapa AO unit. Sebaliknya apabila H menggunakannya seluruh pendapatannya untuk membeli barang S, maka ia akan memperoleh barang S sebanyak OB.
II.2.5.2 Pengaruh Pajak Perseorangan Terhadap Pengeluaran Konsumsi Dan Tabungan
Dalam bagian ini kita akan membahas mengenai pengaruh pajak perseorangan terhadap kepuasan seseorang untuk melakukan konsumsi dan menabung. Dalam analisis ini kita asumsikan bahwa seseorang menabung dengan tujuan untuk melakukan konsumsi pada suatu waktu yang akan datang. Peghasilan seseorang dapat digunakan untuk dua tujuan, yaitu untuk konsumsi dan untuk tabungan (Y = C + S), jadi pertimbangan seseorang untuk melakukan pengeluaran untuk konsumsi atau menabung. Kegiatan menabung tidak lain adalah pertimbangan apakah pendapatan sekarang akan dikonsumsikan sekarang ataukah akan dikonsumsi pada suatu waktu yang akan datang, jadi dalam hal ini maka analisis yang harus digunakan adalah analisis antar-waktu atau inter-temporal analysis. Untuk mempermudah analisis kita membedakan waktu menjadi dua periode, yaitu periode 1 (waktu sekarang) dan periode 2 (waktu yang akan datang).
II.2.5.3 Pengaruh Pajak Perseorangan Terhadap Pemilihan Bentuk Tabungan
Pada pembahasan diatas, kita tidak dapat membedakan antara jenis tabungan, kita anggap bahwa tabungan yang dilakukan seseorang oleh seseorang mempunyai tingkat resiko yang sama. Pada kenyataannya seseorang dapat memilih berbagai jenis tabungan yang akan dilakukannya. Seseorang dapat menyimpan uangnya dalam bentuk uang tunai dimana simpanan dalam bentuk ini mempunyai tingkat resiko yang sangat rendah, bahkan dikatakan simpanan dalam bentuk tunai tidak mempunyai resiko ama sekali. Yang dimaksud resiko dalam hal ini adalah resiko penurunan nilai tabungan. Sebaliknya, ada bentuk tabungan yang mempunyai tingkat resiko yang sangat tinggi, misalnya tabungan dalam bentuk saham. Tabungan dalam bentuk saham mempunyai unsur pertaruhan, karena nilai saham mengikuti mekanisme pasar, suatu saat nilainya dapat naik tanggi sekali yaitu apabila permintaan suatu jenis saham meningkat relatif dibandingkan penawarannya, akan tetapi suatu saat nilainya mungkin menjadi rendah sekali apabila penawarannya jauh lebih besar dibanding permintaan akan saham tersebut. Untuk mempermudah analisis kita misalkan bahwa orang tidak meyukai resiko. Oleh karena itu, orang hanya bersedia untuk hanya memegang sebagian besar tabungannya dalam bentuk tabungan yang mengandung resiko hanya apabila hasil yang diharapkan akan diterimanya besar. Semakin besar hasil yang diharapkan akan diterima semakin besar pula seseorang bersedia menanggung resiko.
II.2.5.4 Pengaruh Pajak Perseorangan Terhadap Penawaran Tenaga Kerja
Pajak perseorangan adalah pajak yang dikenakan pada seseorang tanpa megingat jumlah pendapatannya, tabungan atau pengeluarannya. Pajak ini dapat dikenakan dalam jumlah yang sama pada semua orang atau dapat dikenakan pada segolongan orang tertentu berdasarkan kriteria tertentu. Pajak perseorangan yang berupa pungutan yang jumlahnya telah ditentukan menyebabkan pendapatan yang diterima harus digunakan sebagian untuk membayar pajak dalam jumlah yang sama dan besarnya tidak tergantung lamanya ia bekerja. Bahkan orang tersebut harus tetap membayar pajak perseorangan walaupun ia tidak bekerja sama sekali. Orang yang harus membayar pajak perseorangan menyebabkan ia bekerja lebih lama dari sebelum ada pajak. Hal tersebut tidak selalu demikian, sebab pajak juga menyebabkan bekerja lebih sedikit atau tidak mengubah jam kerjanya sama sekali. Dalam hal ekonomi, teori tidak dapat menentukan secara apriori pengaruh pajak terhadap lamanya seseorang bekerja.
II.2.5.5 Pengaruh Pajak Penghasilan Terhadap Penawaran Tenaga Kerja
Pajak penghasilan termasuk salah satu jenis pajak yang menimbulkan distorsi, walaupun secara umum, pajak penghasilan yang diterapkan secara menyuluruh menimbulkan ditorsi yang paling kecil. Walaupun demikian, ditinjau dari segi keadilan maka pajak penghasilan merupakan pajak yang baik karena pajak ini struktur pajaknya dapat dibuat menjadi progresif. Pajak penghasilan dikatakan mempunyai tarif progresif apabila persentase pajak terhadap pendapatan semakin besar dengan semakin tingginya tingkat pendapatan. Jadi suatu pajak dikatakan progresif bukanlah karena orang yang pendapatannya besar yang membayar pajak, akan tetapi karena orang yang pendapatannya besar membayar pajak yang proposisinya (atau persentasenya) terhadap pendapatanya lebih besar dari orang lain yang mempunyai pendapatan yang lebih kecil dari dia.
Pajak penghasilan selain mempunyai efek pendapatan (income effect), juga mempunyai efek substitusi (substitution effect). Adanya pajak penghasilan menyebabkan pendapatan yang diterima oleh seseorang harus dikurangi untuk membayar pajak. Karena sesorang yang bekerja lebih memperhatikan pendapatan netto daripada pendapatan bruto, maka efek substitusi menunjukkan sikap seseorang yang mengurangi jam kerjanya.
II.2.6 Kriteria Pajak Daerah
Ada 5 (lima) kriteria yang harus dipenuhi suatu potensi pendapatan agar dapat menjadi obyek pengenaan pajak daerah, meliputi kecukupan dan elastisitas, pemerataan, kemampuan administratif, kesepakatan poltik, dan kecocokan suatu pajak. Semua ini diperlukan agar proses pungutan, administrasi dan penetapan tarif terhadap sumber-sumber pendapatan tersebut tidak menyalahi kewenangan Pemerintah Daerah.
II.2.6.1 Kecukupan Dan Elastisitas
Artinya, sumber pendapatan harus menghasilkan pendapatan pajak lebih besar dibandingkan sebagian atau seluruh biaya pelayanan yang akan dikeluarkan. Pajak akan meningkat mengikuti biaya pelayanan yang meningkat untuk menutupi pengeluaran pemerintah. Keadaan demikian mencerminkan elastisitas pajak.
Elastisitas pajak mempunyai 2 (dua) dimensi. Pertama, pertumbuhan potensi dari dasar pengenaan pajak. Kedua, kemudahan untuk memungut pertumbuhan pajak tersebut. Sebagai gambaran, ditunjukkan pada keterkaitan antara tingkat inflasi dengan pajak penjualan dan pajak harta tetap. Saat harga-harga barang dan jasa naik, secara otomatis hasil pajak ikut meningkat sesuai perkembangan dasar pengenaan pajaknya. Untuk pertumbuhan potensi dasar pengenaan pajak atas harta tetap, hanya bisa jika tarifnya ditingkatkan atau harta dinilai kembali (revaluasi). Dalam hal ini elastisitas pajak ditekankan pada kemudahan untuk memungut pertumbuhan pajak tersebut (dari selisih kenaikan tarif dan selisih nilai harta tetap dari revaluasi).
Elastisitas pajak bukan hanya sekedar gambaran data penerimaan pajak tetapi elastisitas pajak dapat mencerminkan pertumbuhan potensi pajak terlepas dari keputusan untuk mengubah tarif pajak.
II.2.6.2 Keadilan
Keadilan memandang pajak sebagai suatu alat redistribusi pendapatan, dimana golongan kaya menyumbang lebih besar daripada nilai pelayanan yang diterimanya, sebaliknya golongan miskin menerima nilai pelayanan yang lebih besar daripada sumbangan yang diberikannya. Keadilan dalam perpajakan mempunyai 3 (tiga) dimensi, yaitu keadilan sosial, keadilan horisontal, dan keadilan geografis.
1. Keadilan vertikal
Pajak dikatakan baik jika bersifat progresif, artinya persentase pajak pendapatan seseorang bertambah sesuai kenaikan tingkat pendapatannya. Pajak juga dikatakan baik jika proporsional, yaitu jika persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak sama untuk semua tingkat pendapatan. Sedangkan pajak dikatakan tidak baik jika bersifat regresif, yaitu persentase pendapatan yang dibayarkan untuk pajak menurun dengan adanya tingkat kenaikan pendapatan.
2. Keadilan horizontal
Keadilan disini maksudnya dalam jumlah pendapatan yang sama maka besarnya pajak yang dibayar juga sama tidak memandang sumber pendapatannya.
3. Keadilan geografis
Pemerataan harus dilihat dalam kaitannya dengan penerimaan dan pengeluaran. Pengenaan pajak atas penduduk adalah tepat jika mereka tinggal di daerah yang memperoleh pelayanan khusus dari Pemerintah. Hal ini untuk memberikan keleluasaan kepada Pemerintah Daerah untuk menetapkan tingkat pajak yang dikenakannya, agar mereka dapat membebani pajak yang berbeda-beda untuk berbagai tingkat pelayanan yang diberikan.
II.2.6.3 Kemampuan Administratif
Dalam menilai pajak yang ditetapkan atas sumber pendapatan pajak memerlukan ketelitian administrasi. Sebab setiap transaksi antara wajib pajak dengan aparat pajak dalam menetapkan besarnya pajak, membuka kesempatan untuk mengadakan kerjasama dan korupsi.
Bagi negara-negara berkembang dimana banyak masyarakatnya memiliki penghasilan yang tidak jelas yang dapat dihitung pengenaan pajaknya, memerlukan kunjungan saat mereka tengah panen sehingga ada penghasilan untuk dipungut pajak. Ongkos administrasi untuk kegiatan semacam itu sangat tinggi, sehingga mungkin tidak sebanding dengan pendapatan pajak yang dihasilkan. Sebaliknya pendapatan yang diperoleh dari pungutan atas minyak misalnya, ongkosnya rendah. Dalam keadaan ekonomi yang demikian muncul kecenderungan menempuh administrasi yang mudah melalui pungutan saat transaksi di sektor komersial formal. Namun, yang demikian tidak selalu sesuai dengan pembebanan yang adil.
II.2.6.4 Kesepakatan Politis
Tidak ada pajak yang populer. Tapi kemauan politis tetap diperlukan dalam mengenakan pajak, menetapkan struktur tarif, memutuskan siapa yang harus membayar, dan bagaimana pajak tersebut ditetapkan, memungut pajak secara fisik, dan memaksakan sangsi pada para pelanggar. Hal ini tergantung pada dua faktor kepekaan dan kejelasan dari pajak tersebut dan adanya keleluasaan dalam mengambil keputusan.
Kepekaan politis kadang hanya memusatkan pada masalah nilai-nilai sosial. Ada masyarakat yang menganggap pajak atas tanah adalah masalah yang sensitif karena tanah itu dipandang sebagai milik bersama, bukan pribadi. Di pihak lain, pengenaan pajak tertentu dapat sensitif karena berpengaruh terhadap kepentingan golongan berkuasa atau golongan tertentu.
Kepekaan politis merupakan hambatan atas potensi suatu pajak. Meski demikian, hal itu berguna untuk pertanggungjawabannya. Kebutuhan untuk membuat suatu keputusan dalam rangka meningkatkan tarif pajak yang tinggi dapat memaksa instansi Pemerintah lebih teliti terhadap pertimbangan untuk pengeluaran tertentu atau mengurangi pemborosan.
Agar pajak lebih diterima, sering dikaitkan penggunannya secara langsung yaitu dengan meningkatkan pungutan untuk membiayai pelayanan tertentu yang populer. Dalam jangka panjang, pengkaitan pajak dengan pelayanan yang diberikan dapat bersifat tidak produktif. Selain itu, pajak dengan jenis yng bermacam-macam malah mempersulit pengenaan yang adil terhadap masyarakat.
II.2.7 Tax Policy
Tax policy adalah alat perpajakan pemda yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana maupun pedoman bagi pelaksanaan di lapangan, sehingga dapat membantu Wajib Pajak dengan pasti melaksanakan kewajiban perpajakannya. Tax policy yang baik harus memenuhi 2 (dua) unsur, yaitu : pertama, haruslah merupakan alat untuk mengalokasikan sumber-sumber dana yang ada di kelompok atau institusi tertentu untuk mendukung program pemerintah; dan kedua, mendorong perumbuhan ekonomi.
Prinsip good tax policy adalah merupakan suatu sistem pajak terhadap kegiatan ekonomi makro dan mikro yang bersifat netral, tanpa adanya suatu distorsi agar terdapat pengalokasian sumber daya yang optimal sesuai dengan keadaan atau dinamika pasar, serta dapat mendorong investasi dari luar.
Tax policy ini memliki hubungan ketergantungan kuat dengan adminstrasi pajak yang baik. Jika tax policy terlalu idealis dapat membuat administrasi pajak makin rumit, sedangkan administrasi pajak yang tidak efektif, dapat melemahkan atau merusak pelaksanaan tax policy di lapangan.
II.2.7.1 Implikasi Suatu Tax Policy
II.2.7.1.1 Mendorong pertumbuhan penerimaan pajak
Hal yang sering ditekankan dalam pembuatan tax policy untuk meningkatkan penerimaan pajak mempunyai 4 (empat) alasan yang secara umum dapat digambarkan sebagai berikut :
1. memberi pengertian terbaik atas alokasi sumber-sumber dana pemerintah, baik secara eksplisit maupun implisit
2. memberi informasi yang baik dalam pembuatan suatu kebijakan
3. pemerintah diberi hak pengawasan yang lebih besar atas sumber-sumber dana yang dimiliki
4. dalam merespon analisis yang dibuat berdasarkan rekomendasi kebijakan yang diusulkan kepada pemerintah, hendaknya untuk kebijakan dalam pemberian fasilitas perpajakan tetap membutuhkan pengkajian mendalam dengan melibatkan pihak-pihak terkait yang berkepentingan.
II.2.7.1.2 Terhadap masyarakat (khususnya wajib pajak)
Sebagai ilustrasi, dapat melihat Jepang sebagai contoh. Sistem perpajakan Jepang berfokus kepada : (1) bagaimana wajib pajak dapat melaporkan pajaknya secara independen, dan (2) apakah harus bertindak tegas pada wajib pajak yang tidak jujur demi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian, secara tidak langsung mendorong kesadaran masyarakat untuk meningkatkan penerimaan pajak. Tax policy di Jepang selalu berlandaskan pada kepentingan wajib pajak dan merupakan suatu tanggung jawab bersama antara pemerintah dan rakyat.
II.2.7.1.3 Terhadap kebijakan fiskal dan moneter bagi suatu pemerintahan
Suatu sistem perpajakan yang netral, sederhana, dan transparan sangat penting untuk menunjang peningkatan alokasi sumber-sumber dana negara-negara berkembang dalam menghadapi kekuatan pasar bebas.
II.2.8 Dampak Ekonomi Dari Pajak-Pajak Pendapatan Dan Konsumsi; Pajak Atas Pengeluaran
II.2.8.1 Perangsang kerja dan penawaran akan tenaga kerja
Suatu pajak pendapatan yang proporsional adalah sama dengan pengurangan proporsional dalam upah dan gaji. Suatu pajak akan menghasilkan efek substitusi maupun efek pendapatan. Efek substitusi, dengan mengurangi keuntungan relatif dari pekerjaan dibandingkan dengan waktu senggang, akan mendorong orang untuk mengurangi kerja dan menikmati lebih banyak waktu senggang. Efek pendapatan menyebabkan orang-orang bekerja lebih banyak agar dapat mempertahankan tingkat kehidupan mereka yang sebelumnya.
Pajak pendapatan mengakibatkan dua perbedaan utama. Pertama, pajak relatif bagi berbagai orang akan berbeda-beda. Golongan-golongan yang berpendapatan rendah yang paling mungkin untuk meningkatkan usaha untuk bekerja sebagai tanggapan atas suatu pajak, akan dibebaskan dari pajak, dan jumlah-jumlah yang relatif lebih besar akan ditanggung oleh mereka yang berada pada tingkat pendapatan tinggi.
Kedua, pada pajak pendapatan, jumlah pajak tergantung kepada jumlah pendapatan yang diperoleh, dan ada kemungkinan suatu efek substitusi. Oleh karena itu, jumlah bekerja agak berkurang. Penurunan dalam usaha bekerja dapat berbentuk macam-macam. Ketidakhadiran menjadi lebih besar, orang yang bersangkutan enggan melakukan kerja lembur, istri atau anak-anak keluar dari pasar tenaga kerja. Orang-orang yang berpenghasilan besar yang bukan berasal dari bekerja termasuk dalam golongan yang paling besar kemungkinannya untuk mengurangi bekerja.
Efek balas dendam. Selama ini kita menganggap semua pekerja memiliki tanggapan yang sama terhadap kenaikan dalam pajak seperti halnya dalam penurunan upah. Tetapi belum tentu demikian, menurut Richard Musgrave ada kemungkinan seseorang mengurangi bekerja karena sedemikian bencinya terhadap pajak pendapatan, sementara ia tidak akan melakukan hal yang sama terhadap penurunan upah. Sebaliknya, yang bersangkutan dapat menganggap pajak sebagai bayaran untuk jasa pemerintah dan sama sekali tidak merubah tingkah laku bekerjanya, hal ini disebut efek pembelian (purchase effect).
Progresi. Pemakaian tarif-tarif progresif meningkatkan kemungkinan bahwa seorang tertentu akan mengurangi bekerja dan bukan lebih giat bekerja pada suatu tingkat tertentu. Kenyataan bahwa tarif adalah progresif meningkatkan pengaruh relatif dari efek substitusi, karena tambahan uang yang diperoleh menyebabkan pengorbanan yang lebih besar dari waktu senggang sebagi gantinya bekerja; pendapatan netto dari tambahan jam bekerja secara progresif semakin menurun.
II.2.8.2 Persediaan relatif tenaga kerja
Sejauh hal bahwa persediaan relatif tenaga kerja dipengaruhi pertimbangan pendapatan uang, maka suatu pajak akan merubah persediaan relatif. Suatu pajak poll (pajak langsung yang dipungut atas perorangan), dengan hanya suatu efek pendapatan akan mendorong orang ke arah pekerjaan yang lebih tinggi. Namun efek substitusi bekerja ke arah yang berlawanan. Bila pajak adalah progresif, maka ada kemungkinan yang lebih besar, dibandingkan dengan pajak poll, untuk mengurangi persediaan yang masuk kepada pekerjaan dengan bayaran tinggi apabila perbedaannya dibatasi dengan cara yang progresif.
Arti efek ini bisa dipertanyakan karena pentingnya motif bukan uang dalam membawa orang ke pekerjaan dengan bayaran yang lebih tinggi. Gengsi, lingkungan pekerjaan yang baik, dll. merupakan daya tarik utama yang membawa orang-orang kepada pekerjaan profesional dan kepemimpinan dengan bayaran relatif tinggi.
II.2.9 Pajak Atas Pengeluaran
Pendekatan langsung kepada pemungutan pajak yang berhubungan dengan konsumsi adalah pajak atas pengeluaran, kadang disebut pajak atas pembelanjaan (spendings tax). Pajak ini dikumpulkan dari perorangan atas dasar pendapatan, atas mana mereka akan melaporkan pengeluaran mereka untuk konsumsi, yang dihitung sebagai kelebihan pendapatan atas kenaikan netto dalam tabungan selama periode itu.
Keuntungan besar dari pajak atas pengeluaran adalah bahwa hal ini memungkinkan tercapainya tujuan dari pungutan pajak atas konsumsi, terutama suatu kenaikan dalam persentase dari pendapatan nasional yang dihemat, tanpa menempatkan beban yang berat atas si miskin, tanpa membuat struktur pajak kurang progresif, dan tanpa efek langsung yang mendorong inflasi dari pajak konsumsi tidak langsung. Dengan tarif progresif yang tajam, pajak dapat menjadi suatu tindakan anti inflasi yang sangat efektif. Namun, meski demikian memberikan jauh lebih sedikit dalam arti sumbangan otomatis kepada stabilisasi ekonomi.
BAB III
PEMBAHASAN
III.1 Abstraksi Permasalahan
21 januari 2007, Majalah Tempo menelurkan sebuah judul, “Kisah Pembobol”. Judul ini merupakan berita tentang usaha penggelapan pajak dengan cara memalsukan dokumen, data dan pengakuan saksi, yang dilakukan oleh PT Asian Agri. Upaya ini berpotensi menimbulkan kerugian Negara sebesar 1,3 triliun. Dugaan kasus ini merupakan kasus berat karena melibatkan 15 perusahaan milik Sukanto Tanoto.
Sukanto Tanoto adalah bos besar dari PT Raja Garuda Mas, sebuah holding yang menangani sejumlah perusahaan yang salah satunya Adalah Asian Agri. Sedangkan kasus penggelapan pajak Asian Agri sendiri merupakan kasus yang melibatkan 3 macam modus operandi. Pertama, menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun. Kedua, mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. Ketiga, mengecilkan hasil penjualan Rp 889 miliar. Lewat ketiga modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. hingga hitungan terakhir menyebutkan kerugian keuangan Negara sebesar 1,3 triliun.
Pada tanggal 26 januari 2007, Direktorat Jenderal Pajak sudah membentuk tim khusus yang bertugas mengusut dugaan manipulasi pajak Asian Agri. Tim khusus itu bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pengusutan itu berdasarkan pengaduan mantan Group Financial Controller Asian Agri Vincentius Amin Sutanto kepada KPK.
Penyidikan aparat pajak telah menyimpulkan bahwa sepak terjang kelompok usaha milik Taipan Sukanto Tanoto itu berpotensi merugikan negara dalam skala yang luar biasa. Nilai sementara ditaksir mencapai Rp 1,3 triliun. Jika kelak terbukti, kasus ini akan dicatat sebagai salah satu manipulasi pajak terbesar dalam sejarah Republik Indonesia.
III.2 Upaya Penyelesaian Kasus Oleh Kejaksaan Agung Dan Ditjen Pajak
Kejaksaan Agung mulai ikut menangani kasus dugaan manipulasi pajak perusahaan Asian Agri Group, milik Taipan Sukanto Tanoto. Kejaksaan sedang melakukan penelitian atas kasus yang berpotensi menghilangkan pendapatan pajak sekitar Rp 1,1 triliun itu. Pihaknya, kata Hendarman, hingga kini masih menilai kasus itu sebagai tindak pidana perpajakan. Seperti diberitakan sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak sudah membentuk tim khusus yang bertugas mengusut dugaan manipulasi pajak Asian Agri. Vincent memberikan setumpuk dokumen yang mengindikasikan adanya praktek manipulasi pajak Asian Agri selama rentang waktu 2001-Oktober 2006. Sumber Tempo membisikkan, manipulasi itu secara garis besar menggunakan tiga modus, yaitu transfer profit (transfer pricing), transaksi lindung nilai (hedging) fiktif, dan pembuatan biaya fiktif.
Pada awal Desember 2007 lalu, kejaksaan telah meminta Dirjen Imigrasi Departemen Hukum dan HAM melakukan pencekalan terhadap delapan karyawan Asian Agri yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Pada 3 Desember 2007 kejaksaan telah membuat surat Nomor Kep-407/D/Dsp.3/12/2007 tentang permohonan cekal bagi delapan karyawan Asian Agri. Mereka berinisial TBK (warga negara Malaysia) dan tujuh warga negara Indonesia, yakni And, WT, ST, LA, EL, SL dan LBH.
Sejak awal November 2007 tim penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung telah menetapkan mereka sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri sekitar Rp 1,34 triliun.
Setelah melalui pengintaian selama empat bulan, tim investigasi pajak berhasil menemukan dan mengambil 1.133 kardus atau sekitar sembilan truk dokumen Asian Agri yang disembunyikan di sebuah toko lampu di kawasan pertokoan Duta Merlin, Jakarta Barat. Belakangan, 258 kardus dikembalikan ke Asian Agri.
Dari sinilah tim Pajak akhirnya menyimpulkan ada indikasi penggelapan pajak oleh Asian Agri selama 2002-2005 dengan total kerugian negara Rp 1,3 triliun. Lima belas pejabat Asian Agri ditetapkan sebagai tersangka. Namun, rencana penyerahan berkas ke Kejaksaan terganjal gara-gara dokumen sitaan yang hendak dijadikan barang bukti dipersoalkan pengadilan.
Pada 29 Agustus 2008, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, telah menolak mengirimkan permohonan kasasi Ditjen Pajak atas putusan praperadilan penyidikan pajak Asian Agri Group. Surat yang diteken Wakil Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Syahrial Sidik menyatakan, permohonan kasasi itu tak memenuhi syarat formal. Menurut Syahrial, karena upaya kasasi itu bertentangan dengan pasal 45 A ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang MA. Pasal ini menyatakan putusan praperadilan tak bisa dikasasi. Djoko pun menegaskan masih ada upaya hukum lain. Namun Djoko menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk mengajukan PK itu pada Ditjen Pajak. Direktorat Jenderal (Ditjen Pajak) tidak perlu berkecil hati. Mahkamah Agung (MA) membuka peluang bagi Ditjen Pajak untuk mengajukan upaya hukum berupa peninjauan kembali (PK) guna membatalkan putusan praperadilan yang memenangkan PT Asian Agri Group. Ditjen Pajak bisa mengajukan peninjauan kembali apabila bersikukuh vonis praperadilan yang membatalkan penyidikan penyelewengan pajak PT Asian Agri Group itu keliru. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkapkan ada dua opsi yang akan dipilih untuk menindaklanjuti penolakan kasasi DJP oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, terkait dengan gugatan praperadilan PT Asian Agri Grup (AAG) pada Juli 2008. Opsi pertama adalah melanjutkan proses hukum melalui pengajuan Peninjauan Kembali (PK), sedangkan opsi kedua adalah menghentikan proses hukum dan melakukan penyitaan ulang. Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengatakan meski ada hakim agung Mahkamah Agung (MA) yang menyarankan bahwa DJP bisa mengajukan PK, sebenarnya yurisprudensi yang paling banyak ditempuh adalah pengajuan kasasi. Meski manajemen Asian Agri Group menolak penyitaan ulang dokumen oleh aparat pajak, Direktorat Jenderal Pajak jalan terus. Menurut Direktur Intelijen dan Penyidikan Pajak Direktorat Jenderal Pajak Mochamad Tjiptardjo, kasus hukum dugaan manipulasi pajak senilai Rp 1,3 triliun oleh perusahaan milik Sukanto Tanoto ini akan terus dilanjutkan, dengan telah berlangsungnya proses pengembalian dan sita ulang dokumen-dokumen Asian Agri, proses hukum berikutnya dapat diteruskan. Diharapkan sebelum tahun 2008, kasus penggelepan pajak ini sudah dapat dimulai.
III.3 Solusi Alternatif: Pembayaran Kekurangan Pajak
Pasal 44B dalam UU 9/2004 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang lantas diperbaharui UU 28/2007, menyatakan bahwa demi kepentingan penerimaan negara dan atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung bisa menghentikan penyidikan kasus kekurangan pembayaran Asian Agri jika perusahaan sanggup membayar tunggakan pokok dan penalti 400% dari tunggakan pokoknya. Dalam catatan Media Indonesia, PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk pernah diduga melakukan penggelapan pajak valuta asing yang menyebabkan negara dirugikan Rp339 miliar. Sayangnya, untuk kasus kekurangan pembayaran pajak yang sudah masuk ke proses penyidikan tidak bisa dihentikan langsung oleh Direktorat Jenderal Pajak. Karena hal itu dipegang oleh Menteri Keuangan dan Kejaksaan Agung. Untuk itu, kedua pihak harus berkonsultasi bila wajib pajak bersedia membayar kekurangan pajaknya. Jadi bisa saja Asian Agri bayar kekurangan pajaknya dan proses penyidikannya dihentikan, tapi semuanya harus sesuai prosedur.
Sebelumnya, Asian Agri siap membayar kekurangan pembayaran pajak setelah Ditjen Pajak keluarkan surat ketetapan pajak kurang bayar (SK-PKB). Perusahaan Asian Agri siap membayar jika ditemukan kekurangan pembayaran pajak dan meminta agar persoalan ini bisa diselesaikan dengan baik-baik dan Asia Agri bersedia membayar kekurangan apabila terdapat temuan pajak kurang bayar.
III.4 Lambatnya Penyelesaian Hukum
Tak mudah membuktikan dugaan penggelapan pajak Rp 1,3 triliun oleh Asian Agri Group milik Sukanto Tanoto. Rencana pelimpahan 21 berkas (15 tersangka) hasil penyidikan tim Pajak ke Kejaksaan, sejak awal Juli lalu, terganjal gara-gara tujuh truk dokumen sitaan yang bakal jadi barang bukti dianggap bermasalah oleh Pengadilan Jakarta Selatan.
III.4.1 Alur Penyidikan Tentang Kasus Asian Agri Ini Bila Dirunut Antara Lain:
Desember 2006
Vincentius A. Sutanto menyerahkan data-data dugaan manipulasi pajak Asian Agri ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
16 Januari 2007
Tim Pajak menggerebek kantor Asian Agri di Medan dan Jakarta. Dokumen raib.
14 Mei 2007
Tim Pajak menemukan dan mengambil 1.133 dus dokumen Asian Agri di pertokoan Duta Merlin. Direktorat Pajak menyatakan telah menemukan bukti awal pidana pajak Asian Agri. Kerugian negara Rp 786 miliar. Lima direksi tersangka.
15 Mei 2007
Karena butuh waktu memeriksa, dibuat nota kesepakatan antara Pajak dan Asian Agri untuk peminjaman dokumen. Penyitaan secara resmi belum dilakukan.
25 Juli 2007
Penyortiran dokumen rampung. Sebanyak 875 dus dokumen disita sebagai barang bukti, sisanya dikembalikan.
14 Agustus 2007
Penyitaan resmi baru dilakukan. Asian Agri baru menandatangani berita acara penyitaan.
28 Agustus 2007
Pengadilan Jakarta Pusat mengeluarkan surat penetapan penyitaan.
25 Sept 2007
Dirjen Pajak mengumumkan telah menemukan bukti-bukti asli, kerugian negara menjadi Rp 794 miliar.
25 April 2008
Tim Pajak menyerahkan tujuh berkas pemeriksaan ke Kejaksaan, namun dikembalikan.
12 Juni 2008
Asian Agri mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Jakarta Selatan atas penyitaan yang dianggap tidak sah.
1 Juli 2008
Pengadilan Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Asian Agri dan menganggap penyitaan tidak sah karena tidak dibekali surat dari Pengadilan.
14 Juli 2008
Pajak mengajukan permohonan kasasi ke Pengadilan Jakarta Selatan.
29 Agustus 2008
Pengadilan Jakarta Selatan menolak permohonan kasasi Pajak.
16 September 2008
Pajak melakukan penyitaan ulang tujuh truk dokumen ke kantor Asian Agri, namun ditolak.
Lambatnya penyelesaian persoalan pajak di beberapa perusahaan, bisa menimbulkan iklim ketidakpastian hukum. Apalagi ada kesan terjadi perlakuan tidak sama, alias diskriminatif. Dirjen Pajak tidak boleh memperlambat atau mengulur-ulur waktu, dan segera menyelesaikan kasus dugaan penggelapan pajak di beberapa perusahaan, termasuk yang kini dialami Asian Agri Group (AAG), aparat penegak hukum telah menetapkan 11 tersangka, tetapi hingga kini bertanya-tanya kenapa kasus ini belum juga ada penyelesaiannya
Selain mempengaruhi iklim investasi, lambatnya penyelesaian kasus ini, yang sejak 2005 lalu telah dicurigai melakukan penggelapan pajak dan juga telah menyita bertumpuk-tumpuk data yang disita, bisa menimbulkan kesan bahwa Ditjen Pajak berlaku tebang pilih dan tidak profesional. Padahal, percepatan penyelesaian pajak erat kaitannya dengan pemasukan negara dari sektor pajak. Melihat rentang waktu yang sudah dua tahun lebih sejak ditemukannya indikasi dugaan penggelapan pajak oleh AAG, penyelesaian yang paling menguntungkan bagi negara adalah dilakukan di luar pengadilan atau out of court settlement secara cepat.
Selain prosesnya cepat, uang pokok wajib pajak serta dendanya bisa langsung dimanfaatkan buat penanganan banjir, bencana dan kebutuhan mendesak lainnya, untuk kepentingan rakyat. Penyelesaian di luar pengadilan selain diatur Undang-Undang, kasus ini bisa segera diselesaikan berdasar fakta yang didapat. Selain tidak perlu memakan waktu yang lebih panjang lagi, penyelesaian di luar pengadilan juga ada diatur dalam UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tetapi Ditjen Pajak harus profesional menunjukkan kesalahan perusahaan bersangkutan.
III.5 Antara Efektivitas Sistem Perpajakan dan Penegakan Hukum
Salah satu opsi penanganan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group yang sedang ditimbang pemerintah adalah penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement). Sebaiknya tak buru-buru menyimpulkan ada udang di balik opsi tersebut. Selama ini, Pemerintah sendiri belum mengambil keputusan final. Menteri Sri Mulyani telah menyatakan akan tetap melimpahkan perkara ini ke kejaksaan dan menegaskan komitmennya untuk menangani kasus besar ini dengan berpegang teguh pada ketentuan hukum.
Di luar rasa was-was itu, suka tak suka, hukum memang mengizinkan pemerintah mengambil langkah itu. Pasal 44B dalam UU 9/2004 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang lantas diperbaharui UU 28/2007, menyatakan bahwa demi kepentingan penerimaan negara dan atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan. Opsi ini masuk pertimbangan karena suatu alasan taktis. Jika perkara ini diajukan ke pengadilan, yang masih teramat korup itu, negara menghadapi resiko gigit jari, tersangka dihukum ringan, bahkan lolos, dan dikenai denda minimal, bahkan mungkin nol.
Namun demikian, hendaknya pemerintah menjalankan amanat undang-undang dengan sepenuh-penuhnya. Pasal 44B itu mensyaratkan penyidikan bisa dihentikan jika, tersangka terlebih dahulu melunasi tunggakan pajaknya ditambah membayar denda sebesar empat kali dari nilai yang digelapkan.
Ketentuan ini tak boleh dikompromikan seinci pun. Nilai denda mesti dimaksimalkan. Berpatokan pada nilai dugaan penggelapan sebesar Rp 1,3 triliun, maka jika kelak terbukti, Asian Agri harus dipastikan menyetor tak kurang dari Rp 6,5 triliun ke kas negara. Hanya dengan itulah rasa keadilan masyarakat bisa tetap terpenuhi. Hanya dengan itulah efek jera bisa tetap menjalar pada pengemplang pajak yang lain. Kasus Asian Agri adalah suatu pertaruhan. Ia akan sangat menentukan kadar kepatuhan kita dalam membayar pajak, dan karenanya, menjadi pertaruhan bagi masa depan perpajakan yang merupakan tumpuan utama pendapatan nasional. Dari total penerimaan anggaran di tahun ini, pajak ditargetkan menyumbang 70,9 persen, atau Rp 500 triliun lebih. Tak hanya itu, yang juga sedang dipertaruhkan adalah keberhasilan reformasi birokrasi yang kini sedang digelar di Departemen Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak. Penanganan kasus Asian Agri adalah tolok ukur pelaksanaan hukum di Negara kita dalam menilai apakah aparat pajak yang kini bergaji tinggi itu tak lagi takluk di hadapan mereka yang berlimpah uang dan kuasa.
Di samping itu, negara Ini merupakan Negara yang mempunyai sistem hukum yang harus ditaati. Pada dasarnya penyelesaian kasus dengan jalur di luar pengadilan memang menawarkan solusi yg jauh lebih menguntungkan di mana pemerintah dan pihak pengadilan harus terpaksa ‘gigit jari’ apabila kasus ini hanya lewat begitu saja. Toleransi berlebihan pada kasus ini bila tidak diatasi akan melahirkan kasus Sejenis pada perkembangan perekonomian Negara kita untuk ke depannya.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Sektor penerimaan keuangan negara yang pokok salah satunya adalah pajak yang sangat berperan besar dalam pertumbuhan ekonomi di negara kita. Perpajakan yang eifisien dilaksanakan dengan suatu cara yang dapat membantu pembagian pendapatan yang lebih merata, dapat membantu untuk memberikan dorongan tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kebijaksanaan pengeluaran anggaran yang dilaksanakan oleh sistem administrasi.
Karena begitu pentingnya pajak, apabila pajak ternyata dimanipulasi unuk kepentingan beberapa pihak sehingga merugikan negara baik dilakukan secara sengaja maupun bersifat illegal maka secara tidak langsung akan banyak mempengaruhi perkembangan ekonomi dan pertumbuhan pembangunan di Indonesia. Pertama, seperti pengaruhnya pada produksi sebagai keseluruhan berlangsung melalui pengaruh-pengaruhnya terhadap kerja, tabungan, dan investasi. Apabila investasi dapat diarahkan dengan baik, maka akan dapat membuat pekerjaan lebih produktif. Investasi berupa materiil memberikan kepada para pekerja alat-alat materiil untuk dapat bekerja lebih produktif dan lebih efisien. Sedangkan investasi dalam bentuk sumber daya manusia dapat dalam bentuk tingkat kesehatan yang lebih baik, skill, pengetahuan khusus dan sebagainya. Kedua investasi tersebut hanya mungkin terjadi bila ada tabungan dalam masyarakat.
Pengaruh yang kedua adalah pajak dapat mengakibatkan adanya penyimpangan dalam penggunaan faktor produksi, yaitu penggunaan yang seharusnya dapat menghasilkan produksi yang maksimum menuju kearah penggunaan yang menghasilkan produksi yang lebih sedikit. Ketiga, pada pajak perseorangan yaitu yang dikenakan pada suatu kelompok tertentu tanpa mengingat aktivitasnyab berpengaruh terhadap pendapatan (yang menjadi berkurang setelah pembayaran pajak), tabungan, atau kedua-duanya. Pajak ini pada akhirnya mempengaruhi kepuasan seseorang untuk melakukan konsumsi dan menabung.
Di negara kita dalam prakteknya, baik sistem maupun administrasi perpajakan seringkali menemui permasalahan-permasalahan. Seperti kasus pada PT. Asian Agri Group yang terbukti merugikan negara sebesar 1,3 trilyun rupiah secara otomatis akan berdampak pada perekonomian nasional. Yaitu yang seharusnya dari pajak tersebut dapat memberikan sumbangan pembangunan masyarakat menjadi tidak jelas akibat penggelapan pajak penghasilan untuk badan usaha dari SPTnya. Prosesi hukum tentunya harus dijalankan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Karena bagaimanapun juga pertanggungjawaban pajak ini harus adil dan transparan. Apabila terjadi kesalahan maka pihak yang berkaitan harus membayar ganti rugi untuk negara dan demi kepentingan nasional bangsa.
IV.2 Saran
Kasus yang terjadi pada PT. Asian Agri Group perlu segera diselesaikan oleh pemerintah. Karena hal ini akan menunjukkan kredibilitas pemerintah menegakkan keadilan. Jangan sampai penundaan penyelesaian permasalahan ini terkesan diskriminatif akibat dari keputusan pengadilan yang menyatakan bahwa kasus bisa diselesaikan di luar pengadilan hanya dengan perusahaan membayar ganti rugi sebesar 400% dari nilai penggelapannya. Walaupun keputusan tersebut memang telah sesuai berdasarkan UU No. 28 tahun 2007 yaitu demi kepentingan penerimaan negara, penyidikan kasus dapat dihentikan jika perusahaan sanggup membayar tunggakan tersebut. Dalam pikiran kami, selain melalui jalur hukum itu seharusnya pemerintah pun harus tegas untuk memenjarakan tersangka Vincent agar diharapkan nantinya bila ada tindakan serupa, tidak ada celah kemudahan bagi seseorang atau badan yang terbukti melakukan kejahatan negara.
Daftar Pustaka
Abdullah. 1983. Sistem Administrasi Keuangan Negara. Jakarta: Bhratara karya aksara.
Ali. Menteri Keuangan Bisa Hentikan Pajak Asian Agri. Jakarta: Media Indonesia. 19 September 2008.
Basri, Yuswar Zainul. 2003. Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Utang Luar Negeri. Jakarta: Grafindo.
Dharmasaputra, Karaniya. Pertaruhan Kasus Pajak Asian Agri. Jakarta: www.korantempo.com. 31 Oktober 2007.
Hakim, Abdul. 2004. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Ekonisia.
Iman, Rosidi. Dewan Desak Selesaikan Kasus Pajak Asian Agri. Jakarta: www.okezone.com. 4 Februari 2008.
Kustiani, Rini. Kejaksaan Supervisi Kasus Pajak Asian Agri. Jakarta:www.tempointeraktif.com. 02 Januari 2008.
—-Kopapi Tuntut Dirjen Pajak Tuntaskan Kasus Asian Agri. Jakarta: AntaraNews. 18 Januari 2008.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2001. Ekonomi Publik edisi ketiga. Yogyakarta: BPFE.
Mathari, Rusdi. Apa Kabar Pajak Asian Agri?. Jakarta: www.Rusdi GoBlog.com. 20 April 2008.
—-Penyidikan Kasus Pajak Asian Agri Selesai Maret. Jakarta: Harian Umum Sore Sinar Harapan. 25 September 2008.
Prakosa, Kesit Bambang. 2005. Pajak dan Retribusi Daerah. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta.
Pratama, Sandy Indra & Aprianto, Anton. Kejaksaan Ikut Tangani Kasus Pajak Asian Agri. Jakarta:www.korantempo.com. 26 Januari 2007.
—-Presiden Minta Kasus Asian Agri Ditangani Transparan. Jakarta: www.kompas.com. 21 September 2008.
Setri, Harun Mahbub. Kasus Pajak Asian Agri Siap Dilanjutkan. Jakarta: www.DannyDarussalam.com. 19 September 2008.
Soemitro, Rochmat. Pajak dan Pembangunan. Jakarta: Eresco. 1982.
Suparmoko. 1984. Asas-asas Ilmu Keuangan Negara. Yogyakarta: BPFE.
Suparmoko. 2003. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek edisi 5. Yogyakarta: BPFE.
Wibowo, Yudho Arif. Kasus Asian Agri Harus Lewat Jalur Hukum. Jakarta: www.korantempo.com. 31 Oktober 2007.
Yutanto, Kurniawan Tri. Tersangka Kasus Pajak PT Asian Agri Bertambah. Jakarta: VHRmedia.com. 8 Februari 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar